Selasa, 01 Februari 2011

Kami Merindukan Aremania di Kota Kembang

Dikirim oleh Marlitha Giofenni (Arema Parahyangan)

23 Januari 2011, sebuah tanggal yang saya tandai besar-besar pada kalender duduk di atas CPU, hari yang saya rekam dengan sangat kuat dalam memori otak ketika pertama kali mengetahui jadwal pertandingan ISL 2010/2011. Ketika memasuki awal tahun ini semakin tidak sabar menanti hari itu tiba. Bila tidak ada aral melintang, kalau BLI tidak seenak dengkulnya merubah jadwal (seperti penundaan beberapa pertandingan ISL 1 – 8 Januari 2011 akibat recovery pemain Timnas), dan apabila Polres Bandung mengeluarkan ijin, dan tentu jika bumi yang kita pijak masih berputar pada porosnya dan berevolusi mengelilingi matahari, maka pada hari itu akan digelar sebuah pertandingan big match, Persib kontra Arema.

Pertandingan yang bagi kami -Aremania Bandung- anggap penting, bukannya meremehkan pertandingan lain tentunya. Betapa tidak, kami yang jauh dari Bhumi Arema akan mendukung Singo Edan secara langsung, sebuah kesempatan yang jarang terjadi, melihat fakta bahwa kami tidak sesering Aremania di Ngalam yang dapat menonton Arema di Kanjuruhan secara langsung. Nasib Aremania perantauan.

Menonton secara langsung? Bukankah hubungan Aremania dengan suporter Persib kurang harmonis akhir-akhir ini? Mungkin pertanyaan itu yang terlintas di benak nawak-nawak ketika membaca pernyataan di atas.
Seperti yang diketahui banyak pihak, beberapa gesekan antar kedua suporter yang punya warna biru sebagai identitas ini terjadi semenjak musim lalu. Baik melalui yel-yel yang dikumandangkan di stadion, yang kebetulan terekam secara live di televisi, sehingga tersiar ke seluruh pelosok negeri, hingga aksi-aksi yang sebenarnya tak patut dilakukan terjadi, yang dampaknya menimbulkan kerugian baik secara fisik, mental, maupun materi.
Entah siapa yang memulai, sehingga yang lain terprovokasi, menuruti hasutan, mengikuti permainan, dengan alasan membela harga diri, hingga siap mati membela apa yang dicintai. Apakah itu wujud loyalitas? Apakah itu cara menjadi suporter dengan totalitas? Tidak adakah cara mendukung yang lebih berkualitas?

Ah, tentu tidak akan ada habisnya membahas hal ini, karena setiap individu merasa bahwa kelompok suporternyalah yang terbaik. Untuk klub, rela melakukan apapun. Tidak salah memang, namun patut disayangkan apabila dampaknya menjadi seperti ini.

Seperti apa maksudnya? Seperti musim lalu, kami Aremania Bandung untuk pertama kalinya tidak dapat mengenakan atribut yang kami banggakan ketika mendukung Arema langsung di Si Jalak Harupat Soreang Kabupaten Bandung. Dampak kemelut Aremania – Viking yang ketika itu sedang agak kurang kondusif. Padahal dahulu kami cukup ramah disambut dengan tangan terbuka di stadion oleh suporter Persib.


Aremanita Parahyangan di GBK

Oh iya, berbicara mengenai suporter Persib, sebelumnya mungkin nawak-nawak dibuat bingung dengan istilah “Bobotoh” dan “Viking”. Semoga penjelasan berikut menambah wawasan kita sebagai suporter. Bobotoh, dalam Bahasa Sunda berarti “yang memberi dukungan kepada yang bertanding”. Ya, Bobotoh adalah suporter Persib. Sedangkan Viking (Viking Persib Club) adalah salah satu kelompok fans suporter yang berdiri pada tanggal 17 Juli 1993, diprakarsai oleh Heru Joko (yang sekarang menjabat sebagai Ketua Viking Pusat). Selain Viking, kelompok fans suporter Persib yang lain adalah Bomber. Bomber (Bobotoh Maung Bandung Bersatu), berdiri tahun 2001, salah satu dedengkotnya adalah Nevy Efendi. Ada juga Balad Persib, Jurig Persib, Rebolan sebagai kelompok fans suporter. Jadi dapat disimpulkan, Viking (dan Bomber, serta yang lain) adalah Bobotoh, namun Bobotoh belum tentu Viking. Tetapi semuanya adalah pendukung Persib, Bobotoh lebih luas, tidak terkotak-kotak oleh nama komunitas.

Mungkin bagi Aremania yang tidak mempunyai ikatan atau kenangan apapun dengan Bandung, Jawa Barat, dan Bobotoh bisa saja cuek dengan hal ini. Menganggap enteng ketidakharmonisan Aremania – Bobotoh, layaknya rivalitas Aremania – Bonek yang memang terjadi sejak jaman baheula. Atau menganggap wajar bila ini terjadi karena kemesraan duo suporter besar Indonesia, Aremania – The Jak versus Viking (yang pasti adalah Bobotoh) – Bonek, dimana sudah menjadi rahasia umum bahwa biru yang satu tidak akur dengan hijau, dan biru yang lain tidak akur dengan oranye. Sebuah hal yang wajar di dunia si kulit bundar kata orang (secara pribadi saya tak pernah suka dengan statemen ini, karena persaingan sudah tidak sehat).
Namun, bagi kami Aremania Bandung yang sebagian besar asli Kera Ngalam yang ternyata ditakdirkan bernafkah di Tatar Sunda, Bumi Parahyangan yang notabene tanah lahirnya Bobotoh, tentu menjadi sebuah dilema besar. Apakah kami mendramatisir? Tentu nawak-nawak mengerti kalau memahami posisi kami.

Kami mencari ilmu bersama Bobotoh, tinggal bersebelahan dengan Bobotoh, bekerja mengais rupiah dan menyambung hidup berpartner dengan Bobotoh, bahkan tidak sedikit yang berjodoh dengan Bobotoh, hidup kami dikelilingi Bobotoh. Kalau sedang berkendara di jalan raya, sering kami melihat stiker “Persib, Jati Diri Urang Sunda”, “Persib Duriat Aing”, “Tong Rasis Ulah Anarkis Dukung Persib Make Manah”, “Persib Nu Aing”, “Persib Aing Pisan”, dan beragam atribut dari kaos, jaket, hingga tas sekolah dikenakan banyak orang dari kecil sampai dewasa. Tentu tidak berbeda dengan di Bhumi Arema. Ya, dimanapun, sepakbola telah menjelma menjadi lebih dari sekedar permaianan dua puluh dua orang di lapangan yang memperebutkan bola, menghadang serangan musuh, dan mencetak gol ke gawang lawan sebanyak-banyaknya. Sudah lebih dari itu. Sepakbola sudah bagai budaya, jati diri, bahkan yang lebih ekstrem “agama kedua”, dan beragam filosofi lain. Sebuah kultur masyarakat.

Beda klub yang kami dukung, tak membuat kami berseteru dengan Bobotoh di sekitar kami. Justru perbedaan itulah yang membuat unik. Ya, perbedaan didasari dengan toleransi tinggi, saling menghormati, menghargai, tak ada kata mencaci, jauh dari kata hinaan yang munusuk hati, kata-kata ejekan bercanda kalau kebetulan klub yang didukung kalah itu tak kami pungkiri, ada tepuk punggung saling menyemangati. (“Arema kemarin menang ya? Menangis! Hehe… “, kata Bobotoh. “Wah, selamat Persib juga menang kan? Maksudnya menanggung malu, wkwk… “, kata Aremania.) Sungguh indah. Bagiku Aremaku, Bagimu Persibmu. Tak ada benci dan kata saling caci.

Mendengar cerita sam-sam yang sudah menetap bertahun-tahun di Bandung tentang bagaimana dulu Aremania disambut dengan hangat oleh Bobotoh, membuat saya ingin merasakan hal itu (belum pernah). Bahkan ada salah satu teman Bobotoh berkomentar di jejaring sosial Facebook, “Kami merindukan Aremania di Kota Kembang, dulu kalau ke sini suka bawa singa-singaan!”


Aremania Parahyangan di GBK dukung Arema

Berbagai pihak telah berupaya kembali mengharmoniskan hubungan (toh sejarahnya memang tak pernah terlibat gesekan secara langsung di stadion), melakukan mediasi dengan dedengkot-dedengkot suporter yang “dituakan”, dan hal-hal lain. Butuh waktu dan proses yang tak singkat. Tapi ketika keyakinan itu ada, apapun bisa saja terjadi.

Selain itu terdapat forum yang berjudul Aremania – Bobotoh Satu Warna Bukan Musuh, pernah muncul di Harian Bandung Ekspres (3 Januari 2011) dan Sumedang Ekspres (5 Januari 2011) dimana forum tersebut cukup vokal dalam berapresiasi, dan mempunyai program yang meniru aksi suporter Liverpool yang kecewa terhadap kepemimpinan pemiliknya, bedanya forum ini meluapkan ekspresi mereka akan kinerja petinggi organisasi sepak bola di negeri ini. Forum tersebut salah satu bukti bahwa tidak sedikit yang mendukung kedua suporter ini menjalin hubungan baik seperti sedia kala. Bentuk ekspresi lain yaitu dengan dibuatnya kaos bertuliskan “Keep Stay on the Blues, Between Green and Orange”, dan pembuatan kaos pengumpulan dana bantuan untuk Unicef dengan tema “Born to be Blue, We are Indonesian Supporters Unite For Children”, dimana sebagaian dari penjualan kaos tersebut didonasikan untuk Unicef.

Kami tidak berangan-angan kedua suporter ini memproklamirkan diri “satu hati” atau “satu jiwa”, tidak untuk itu! Karena ideologinya beda, Aremania untuk Arema dan Bobotoh untuk Persib. Seperti lagu APA Rapper, “Di sini Arema, di hati jiwa juga ragaku”. Dan Bobotoh pun dengan bangganya berucap “Persib, jati diri Urang Sunda”. Kami hanya ingin mendukung Arema dimanapun kami berpijak, tanpa perlu menyembunyikan identitas dan jati diri kami, atau menutupi atribut hanya karena kami Aremania, khususnya di Bandung, tanah kedua kami. Sungguh kami cinta Arema, bangga menjadi kera Ngalam, selalu membawa semangat Singo Edan, dan berjuluk Aremania.

Berita baiknya saya mendapatkan pesan singkat dari nawak Aremania Ngalam yang menyebutkan salah satu kolom di Harian Malang Pos tertanggal 8 Januari 2011, halaman 14, yang kurang lebih berisi komentar dari Aremania tentang Pak Heru Joko (Ketua Viking) yang siap melakukan rekonsiliasi memperbaiki hubungan yang sempat merenggang. Semoga bukan sekedar wacana saja.

Tulisan didedikasikan tak sekedar memenuhi keinginan kami semata, tapi juga demi Aremania, agar bisa mendukung Arema kemana-mana, ke kandang Maung Bandung tentunya, dan semoga kelak Bobotoh pun bisa mendukung Persib di kandang Singo Edan, dengan nyaman tanpa ketakutan. Hei, bukankah sekarang sudah ada KA Malabar? Kereta yang menghubungkan Bandung dan Malang melalui jalur selatan, tanpa melewati kota dimana rival bebuyutan Aremania berada.

Arema, besar karena cobaan
Aremania, mendukung Singo Edan
Loyalitas, jangan pernah ragukan
Selalu, tak tergantikan




silakan berkomentar di fb koment...apabila tulisanya tidak jelas langsung di block tulisanya atau ctrl + a Terimakasih

0 komentar:

Posting Komentar